Rabu, 27 Juli 2011

Bijaklah Gunakan Facebook, Google & Twitter

Bagi beberapa orang, jaringan sosial seperti Facebook, LinkedIn, Google +, dan Twitter digunakan untuk umum. Namun, hal ini berbahaya. Mengapa?


Memperlakukan jejaring sosial ini seperti itu sama seperti perusahaan limbah lokal yang menjadi bencana bagi konsumennya karena regulasi utilitas publik merupakan musuh inovasi dan persaingan.
Banyak pihak yang memberikan label Facebook sebagai utilitas publik menyatakan peraturan diperlukan untuk itu. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya membawa orang pada ide-ide membuat peraturan yang merugikan dunia teknologi sendiri.
Termasuk, mandat utilitas publik, pembatasan sikap umum, aturan ‘netralitas’ dan kontrol harga akan diterapkan pada Internet dan platform digital. Sayangnya, hanya sedikit orang yang sadar bahwa ide-ide semacam ini mendatangkan malapetaka pada komunikasi dan teknologi media.
Terbaru, kecemasan dengan skala yang terus tumbuh terhadap jaringan sosial muncul dari profesor Tim Wu di Columbia Law School. Buku terbaru Wu, The Master Switch: The Rise and Fall of Information Empires berhasil menarik perhatian dalam Cyberlaw dan kebijakan internet.
Twitter dan Google menjadi dua perusahaan yang dilabel Wu sebagai ‘monopoli informasi’ atau ‘kerajaan informasi’. Terdapat beberapa masalah menyatakan layanan jejaring sosial sebagai utilitas dan mengubahnya menjadi monopoli yang diatur seperti diungkap penulis senior Adam Thierer dari Forbes.
Pertama, utilitas biasanya dianggap sebagai ‘fasilitas penting’ yang tak memiliki alternatif yang baik. Situs jejaring sosial hampir tak akan dianggap sebagai layanan penting. Laju perubahan yang sangat cepat di sektor jejaring sosial membuat situs ini berbeda dari utilitas. Tak hanya sebagian besar layanan cyber ini relatif baru tapi mereka juga diketahui terus saling menggusur.
Pada lima tahun lalu, Friendster dan MySpace marak dibicarakan orang namun kini menghilang dari sorotan. Alternatif baru muncul dari tempat yang tak terduga. Pekan ini, myYearbook, situs jejaring sosial yang dibuat lima tahun lalu oleh saudara berusia anak sekolahan, dijual seharga US$100 juta (Rp852,8 miliar) dan telah memiliki 20 juta anggota.
Kedua, terdapat masalah ‘monopoli’. Para kritikus ternyata tak melihat ironi saat mengklasifikasikan semua layanan ini sebagai monopoli yang diatur ketika mereka semua saling bersaing dengan keras satu sama lain. Tindakan memaksakan status ‘utilitas’ pada layanan atau platform ini cenderung melindungi dari persaingan dan mengunci mereka sebagai monopoli nyata untuk jarak jauh.
Ketiga, utilitas publik sendiri secara alami tak inovatif. Konsumen biasanya diberi akses ke layanan biasa di tingkat ‘adil’ namun tanpa insentif untuk memperoleh pengembalian yang lebih besar, dalam hal ini inovasi terkena imbasnya.
Tentu saja, situs jejaring sosial tersedia bagi semua orang secara gratis dan situs ini terus-menerus berinovasi. Jadi, dimana letak permasalahannya dan cara peraturan memecahkan masalah ini masih belum jelas. Hal tersebut menimbulkan bahaya terbesar dari intervensi pemerintah.
Peraturan bisa berdampak langsung pada konsumen dalam kasus ini. Jika layanan jejaring sosial diklasifikasikan sebagai utilitas dan pemerintah mengatur praktek pengumpulan datanya atau model berbasis iklan, harga bisa diberlakukan ketika situs ini berupaya menyesuaikan diri dengan aturan baru.
Demi konsumen dan persaingan, pembuat kebijakan tak akan mendengarkan pihak-pihak yang begitu santai melabel utilitas publik pada platform jejaring sosial dinamis saat ini. “Jika orang-orang ini berhasil membujuk pada pembuat kebijakan, kematian inovasi Internet sudah diambang pintu,” tutupnya. [INILAH.COM]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pageant Daily : Miss Universe 2023

 Miss Universe 2023 : My Favorites Argentina , Australia, Brazil, Cameroon, Canada, Colombia, Costa Rica, Ecuador, El Salvador, Germany, Hon...